Azan Maghrib senja itu terasa berbeda. Sambil merasakan perut yang ‘sedikit aneh’ dengan tangan yang tetap menyuapi anak-anak secara bergantian, aku terus bertanya-tanya.
"Inikah hari yang dinanti itu?"
Semakin malam semakin terasa. Benar saja, air hangat terus merembes di sela-sela kedua kakiku. Ya, air pelindung bayiku itu mungkin sudah pecah. Dan ini adalah saat si bocah mungil yang selama 9 bulan ini menjadi bagian dari diriku ke luar untuk melihat dunia.
Jarum jam terus bergerak. Namun yang dinanti tak juga muncul. Padahal, biasanya tak pernah begitu. Aku harus segera menemui bidan, dokter, atau apalah itu. Bayiku akan segera ke luar. Tapi, siapa yang akan mengantarku? Tak mungkin aku sendiri ke sana. Bapakku yang diabetesnya sedang kambuh juga tak mungkin bisa mengantarku. Apalagi ibuku. Penglihatannya sudah menurun begitu matahari terbenam. Ah… bagaimana ini?!
Dengan motor Scoopy-nya, akhirnya seorang sepupu mengantarku ke bidan tempat biasa aku memeriksakan kandungan selain dokter. Ya, karena keluhan di kehamilan yang ketiga ini cukup mengganggu, selain ke dokter dengan USG, aku juga memeriksakan si jabang bayi yang ada di dalam rahimku ke bidan sebuah klinik yang ditunjuk kartu Jamsostek yang aku pegang. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Mungkin sekitar 2-3 km.
Sesampainya di klinik, bidan memberiku sebuah kabar yang cukup mengagetkan. Menurutnya, dia tak sanggup membantuku dalam melahirkan bayi ini. Sebabnya adalah karena ketubanku sudah pecah. Dia takut terjadi apa-apa dengan bayiku. Dia merujukku untuk melahirkan di rumah sakit saja. katanya, jika terjadi apa-apa dengan bayiku, dokter bisa langsung memberikan tindakan.
DEG! Aku kaget dibuatnya.
Suamiku belum juga datang menyusulku ke klinik. Entah apa yang terjadi dengannya malam itu. Sementara rahimku sudah mulai berkontraksi.
Jam delapan malam, akhirnya suamiku tiba. Dengan ekspresi yang sama paniknya dengan aku tadi, dia mendengarkan saran bidan tentang kelahiran bayiku yang ketiga itu.
Selang 15 menit, aku, ibuku, dan juga suamiku akhirnya pergi menuju rumah sakit. Jaraknya yang cukup jauh (sekitar 15 – 20km) membuat perjalanan begitu lama. Belum lagi kondisi jalan yang begitu buruk. Kontraksi rahim yang aku rasakan semakin menjadi-jadi dibuatnya.
Jam 8.30 malam kami pun sampai di rumah sakit. Setiba di sana, aku langsung dibawa ke UGD. Berselang 30 menit, kontraksi perutku semakin memuncak. Dengan iringan doa ibu dan juga suamiku, aku melewati pergulatan yang terasa sangat lama itu dengan sakit yang tiada tara. Setelah kontraksiku dinyatakan lengkap, aku pun di bawa para perawat ke ruang bersalin yang letaknya entah di lantai berapa. Aku sudah tak peduli dengan itu. Yang aku inginkan hanyalah segera ‘mengeluarkan’ bayi yang ada di dalam perutku secepatnya.
Untunglah semua berjalan lancar. Mungkin hanya dalam hitungan 10 menit, akhirnya bayi laki-lakiku ke luar. Seorang bayi mungil yang kehadirannya sudah aku nantikan sejak 9 bulan itu.
Segala sakit, semua panik, dan seluruh perih itu pun sirna. Seiring lengkingan tangisnya, air mata menetes dari kedua sudut mataku.
"Subhanallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar."
***
Setahun sudah lewat. Bayi itu kini telah tumbuh menjadi bayi montok yang aktif. Senyum manisnya, celoteh-celotehannya, dan bahkan tangisnya sudah mewarnai kehidupan kami dan rumah kami. Kami menamainya RAYI MUHAMMAD ZAUDAN.
Terima kasih Ya Allah atas anugerahMu yang besar ini. Semoga anakku selalu sehat, menjadi anak yang pintar, soleh, dan juga berguna. Aamiin.
menegangkan ya mak,alhamdulilllah akhirnya terlewati semua...baarokalloh babyZ ^^
BalasHapusdoakan aku makkkk hehehe