Menangkal rasa kantuk untuk mengerjakan laporan adalah salah satu fungsinya yang paling pertama aku kenal. Ya, saat duduk di bangku kuliah itulah, secara resmi, aku mengikrarkan diri untuk menjadi pengguna kopi. Meski saat itu, nikmatnya rasa kopi masih belum terlalu aku mengerti.
Menikah dengan seorang pencandu kopi membuat aku naik tingkat. Dari yang hanya sebatas oportunis, aku menjadi penikmat kopi yang manis. Hehehe, maksudnya, kopi yang aku suka masihlah terbatas pada kopi yang manis. Kopi susu, capucinno, kopi plus krimmer, dan sebangsanya. Adapun untuk kopi hitam, aku masih emoh. Bukan tak enak, tapi efeknya yang terlalu cepat bikin lapar membuat aku menghindarinya. Kalau diperturutkan, bisa-bisa, aku makan besar hingga 7 kali jadinya. Wow, rugi bandar, dong! :D
Mengikuti perjalanan kopi itu rasanya seperti menyusuri sebuah timeline. Ya, kopi yang dalam sejarah awal ditemukannya hanya sebatas digunakan untuk ritual-ritual adat tertentu, kini sudah beralih menjadi penentu gaya hidup. Kita dicap gak gaul jika tak pernah nongkrong di café. Dan lihat saja, kata café sendiri itu berasal dari Bahasa Perancis yang berarti kopi. Meskipun kini mengalami perluasan makna, nongkrong di café tetap banyak dihabiskan orang-orang hanya untuk secangkir kopi. Belum lagi soal harganya. Beberapa lembar uang sepuluh ribuan tak segan-segan untuk dikeluarkan demi secangkir kopi. Apa pun tujuannya, secangkir kopi tersebut jelas sekali berkontribusi besar dalam menaikkan ‘peran’ kopi di dalam kehidupan.
Pasar Kopi yang Potensial
Naik kelasnya peran kopi di dalam kehidupan ternyata berbanding lurus dengan jumlah penikmatnya. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi siapa pun yang menjadi produsennya. Dan Indonesia berada di urutan ke-3 setelah Brazil dan Vietnam. Meskipun masih terbilang lumayan, tapi hal ini patut disayangkan. Tentu saja mengingat negara kita yang sangat potensial dalam menghasilkan kopi dan juga besarnya pasar kopi dunia. Apalagi beberapa jenis kopi Indonesia, salah satunya adalah kopi luwak termasuk dari jenis kopi terbaik dunia. Jadi jika dimaksimalkan, kopi bisa jadi produk ekspor non-migas yang bisa kita andalkan.
Bagaimana Jika Berkolaborasi?
Merengkuh pasar dunia yang potensial oleh kita rasanya akan sangat susah. Brazil, selain negara yang paling besar produksi kopinya juga sekaligus pasar yang besar bagi kopi yang dihasilkannya. Oleh karena itu, untuk bisa menjadi pesaing Brazil, satu-satunya cara adalah dengan berkolaborasi bersama Vietnam. Ya benar, Vietnam sebagai negara produsen kopi kedua terbesar di dunia, kita jadikan sebagai rekanan.
Kira-kira, seperti apa ya bentuk kerjasamanya? Mungkin saja dengan cara membuat pabrik penghasil kopi bersama. Ada pun kopi yang diproduksi bisa kopi asli Indonesia, kopi asli Vietnam, atau mungkin kopi hasil pengembangan kedua negara. Hal ini tentu harus dipilih kopi yang terbaik sebab selama ini, kopi Arabica Brazil cukup menguasai pasar kopi dunia. Atau mungkin juga dengan cara yang lainnya. Apa pun itu, yang jelas, dengan berkolaborasinya dua negara penghasil dan pengimpor kopi terbesar kedua dan ketiga, bukan mustahil, pasar kopi yang sebelumnya dikuasai Brazil bisa beralih pada kita. Dan sudah jelas, pasar ASEAN harus kita kuasai sepenuhnya.
Sumber gambar: http://www.chorltoncoffeefestival.com/wp-content/uploads/2013/05/coffee-beans.jpg |
Kolaborasi di era Komunitas ASEAN 2015
Selain kompetisi, di era Komunitas ASEAN 2015 nanti, kolaborasi pasti banyak terjadi. Kembali lagi pada tujuan awalnya. Tiga pilar yang menjadi fokus komunitas harus bisa meningkatkan dan menguatkan posisi ASEAN di mata dunia.
Nah jadi, mari kita berkolaborasi. Kita bersimbiosis mutualisme. Kita untung dan partner kita pun untung. Demi kehidupan bangsa yang lebih baik. Yuk mariiiii….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar di blog saya. Maaf, karena semakin banyak SPAM, saya moderasi dulu komentarnya. Insya Allah, saya akan berkunjung balik ke blog teman-teman juga. Hatur tengkyu. :)