Laman

3.9.13

Mari Bercermin pada Kebebasan Berpendapat di Filipina!

Dulu, ketika duduk di bangku kelas 3 SMP, saat dengan proses belajar-mengajar, seorang guru IPS melemparkan sebuah pertanyaan.

“Jika seorang anak pejabat negara melakukan tindakan anarkis, kemudian dia terbebas dari hukuman, bisakah kita memprotes hukum?” tanyanya.

Dengan serentak, seisi kelas menjawab, “tentu saja!”

Tiba-tiba guruku itu berkata, “kalian salah. Di era seperti sekarang, hal seperti itu tidak bisa dilakukan. Kalian tahu kenapa? Sebab itu adalah tindakan yang subversif.”

Sumber gambar:
http://forderecord.files.wordpress.com/2012/07/freedom_of_speech.jpg

Sebagai anak SMP, tentu kami bingung. Kok bisa hal itu terjadi. Dan apa pula itu subversif?

Seperti tahu dengan apa yang dipikirkan anak-anak, ibu guruku langsung menjelaskan semuanya, juga tentang arti kata subversif itu sendiri. Namun meskipun semua dijelaskan secara gamblang, apa yang diungkapkan ibu guru IPS-ku itu, hingga sekarang masih menjadi tanda tanya. Benarkah seperti itu?

Menginjak dewasa, saat baru masuk perguruan tinggi, saat itu ketika mahasiswa sedang giat-giatnya turun ke jalan untuk menyuarakan berbagai macam protes terkait kondisi negeri, ajakan para senior untuk ikut berdemo membuat aku dan teman-teman susah menolak. Selain karena takut, rasa kebersamaan dan setuju atas tugas mulia itu mendorong aku dan teman-teman untuk berani membolos jam-jam kuliah. Meski baru sekadar ikut-ikutan, aku dan teman-teman merasa bangga bisa ikut serta. 

Saat sedang berdemo, aku sungguh khawatir dengan para senior yang begitu frontal menyuarakan protesnya. Mereka dengan bebasnya menyuarakan apa yang ada dipikirannya. Tentang pemimpin negeri yang zalim lah, tentang polisi yang begini lah, tentang ini, dan tentang itu dengan sebebas-bebasnya. Waktu itu, yang aku pikirkan adalah apa yang pernah diucapkan guru IPS-ku di SMP dulu. Subversif, ya subversif. Aku khawatir, senior-seniorku akan ditangkap karena tindakan subversif. Karena dekat, secara pribadi, aku langsung menanyakan hal itu kepada para senior.

“Gak usah takut, Dik. Negara kita sedang reformasi. Kita bebas menyuarakan apa saja. Lagian, kalopun aku ditangkap, teman-teman kita gakkan diam. Pasti aka nada demo yang lebih besar lagi untuk itu. Aku juga gak takut ditangkap. Demi negara dan perubahan, aku rela, kok!” paparnya tanpa ragu.

Wow! Aku sungguh terharu dengan apa yang diucapkan seniorku itu. Hebat! Dia begitu heroik. Tak takut ditangkap. Dan semua dilakukannya semata-mata demi perubahan. Syukurlah, berkatnya dan juga berkat aktivis-aktivis lain, reformasi yang diharapkan saat itu, akhirnya terjadi.

Kebebasan yang Kebablasan?
Sekarang, kebebasan berpendapat sudah bukan hal yang baru. Siapa pun bisa berpendapat dengan sebebas-bebasnya tanpa batasan. Wartawan, politikus, hingga rakyat biasa, bisa berpendapat mengenai apa pun yang dia inginkan. Tak hanya di dunia nyata, bahkan di dunia maya, melalui situs jejaring sosial, kebebasan berpendapat bisa dilihat dengan mudah. Ada yang melalui status Facebook, update-an Twitter, hingga tulisan di forum-forum dan juga blog. Semua bermuara pada satu landasan hukum, kebebasan berpendapat.

Yayaya… kita memang berhak untuk berpendapat. Kita bebas untuk mengkritik. Dan kita juga bebas menulis apa pun yang kita inginkan. Tapi, benarkah mengenai apa pun yang kita inginkan? Bahkan dengan cara ‘menjatuhkan’ serta membuka aib orang lain? Tidakkah kebebasan kita itu menyentuh dan menyinggung batasan hak-hak orang lain? Bukankah orang yang merasa terhina oleh kritik kita bisa memberikan somasi atau tuntutan hukum atas nama pencemaran nama baik?

Kritik memang perlu. Berpendapat mengenai sesuatu memang diperbolehkan. Tapi menjunjung tinggi adat ketimuran rasanya masih perlu kita jaga. Bukan berarti mengurangi kebebasan berpendapat. Tapi lakukan dengan cerdas. Bukankah ucapan atau tulisan baik itu mencerminkan diri kita? Janganlah peribahasa “Mulutmu harimaumu” yang kini bergeser menjadi “Statusmu atau tulisanmu harimaumu” menjadi hal yang kemudian kita sesalkan. 

Benarkah di Filipina Kebebasan Berpendapat Itu Terjegal?
Sumber gambar:
http://www.nationsonline.org/maps/philippines-map.jpg
Indeks Kebebasan Pers 2013 yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan bahwa kebebasan pers di Filipina di komunitas Asean (2013) ada di bawah Malaysia, Kamboja, Indonesia, Thailand dan Brunei Darussalam. Dengan kondisi ini, bisa dilihat bahwa kebebasan berekspresi bagi para jurnalis, termasuk blogger akan terkungkung. Bahkan menurut Commitee to Protect Journalists, AS, Filipina itu berada pada peringkat ke-3 sebagai negara yang paling berbahaya bagi wartawan. Peringkat ini disandang Filipina selama empat tahun berturut-turut. Namun di sini, ada fakta yang membuat hasil RSF dan Commitee to Protect Journalists sangat kontras. Dalam sebuah temuan dikatakan bahwa Filipina adalah negara yang memiliki tingkat kebebasan pers tertinggi di Asia Tenggara. Dan Filipina juga mempunyai tingkat demokrasi yang tinggi. Nah, bagaimana ini?

Dalam beberapa referensi memang dikatakan bahwa di Filipina pernah terjadi beberapa kasus kematian wartawan akibat pekerjaannya. Dan hal ini sangat ditentang keras oleh siapa pun. Bahkan oleh PBB. Akibatnya, pemerintah Filipina pun berjanji akan segera merevisi undang-undang mereka yang mengatur tentang perlindungan wartawan.

Pada Akhirnya….
Kita rasanya patut bercermin dari Filipina. Meski kebebasan berpendapat mereka terjegal, dalam banyak hal, Filipina lebih unggul dari kita. Atau apa mungkin, semua ini sesuai dengan peribahasa “Tong kosong nyaring bunyinya?” Jangan sampai itu terjadi! 

Kebebasan berpendapat memang perlu. Tak sepantasnya pemerintah atau pun undang-undang menjegal siapa pun untuk berpendapat. Termasuk para jurnalis dan blogger yang memang biasa menyuarakan dan membagikan berbagai macam informasi kepada masyarakat. Apalagi menuju terbentuknya Komunitas ASEAN 2015. Lalu lintas informasi sekecil apa pun akan sangat mudah berlalu-lalang. 

Namun di sini, sebagai warga negara dan sebagai bagian dari komunitas, sudah sepantasnya kita lebih menyaring apa pun yang kita suarakan. Bukankah pada akhirnya, apa pun akan kembali kepada kita? Bukankah iklim yang tenang dan damai itu lebih menyenangkan daripada ribut-ribut dan huru-hara? Mari kita ciptakan suasana kebebasan berpendapat ini menjadi kondisi yang kondusif dan menyenangkan. Tentu saja agar negara kita secara khususnya, dan komunitas ASEAN pada umumnya, bisa lebih maju dan mempunyai posisi yang lebih kuat di mata dunia. Mari!

Referensi
  1. http://doa-bagirajatega.blogspot.ie/2013/06/kebebasan-pers-james-luhulima.html
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Filipina
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Portal:Filipina/Tahukah_Anda
  4. http://www.dw.de/pers-di-era-inflasi-kebebasan/a-16565323
  5. http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2013-05-05/filipina-janjikan-perlindungan-wartawan/1125970

3 komentar:

  1. kebebasan yang bertanggung jawab yah :)

    BalasHapus
  2. Indonesia untuk saat ini sedang darurat kebebasan bersuara, penyebaran berita-berita hoax pun tak bisa terbendung lagi. Memang harus dibuat aturan yang tepat dan tegas untuk mengatur ini, membatasi belum tentu mengekang.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan berkomentar di blog saya. Maaf, karena semakin banyak SPAM, saya moderasi dulu komentarnya. Insya Allah, saya akan berkunjung balik ke blog teman-teman juga. Hatur tengkyu. :)