Penyakit tuberkulosis yang begitu banyak menimpa orang di sekitar kita, ternyata memang menggambarkan keadaan penyakit tersebut secara umum di negara kita. Ya, sebab berdasarkan data internasional, Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah kasus tuberkulosis terbanyak di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Jadi tentu saja, sebaran penderita di sekitar kita masih sangatlah banyak.
Bertolak dari kenyataan itu, pernahkah kita berpikir mengenai beban penyakit tuberkulosis terhadap kita? Sebagai orang yang sehat, sepertinya tidak. Tapi bagi mereka yang sakit dan keluarganya, penyakit ini merupakan beban yang berat. Tak hanya karena bayangan kematian yang begitu dekat, beban ekonomi juga sangat memberatkan mereka. Sekali pun obatnya gratis, produktivitas penderita tuberkulosis yang menurun, terutama bagi penderita yang asalnya bekerja (apalagi tulang punggung keluarganya), mengakibatkan pendapatan keluarga berkurang. Tak ayal, guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, keluarga penderita tuberkulosis seringkali menjual harta bendanya atau bahkan sampai berhutang ke sana ke mari.
Penyakit TB: Beban Bagi Negara
Beban kematian dan ekonomi dari penderita tuberkulosis juga merupakan beban yang berat bagi negara. Bayangan hilangnya generasi produktif akibat kematian, meningkatnya jumlah kemiskinan, hingga besarnya biaya obat yang harus ditangung agar para penderita bisa diobati hingga tuntas adalah sekian contoh dari banyaknya permasalahan yang diakibatkan dari penyakit ini. Belum lagi tingkat penularannya yang sangat tinggi. Jumlah 460.000 kasus baru di tiap tahunnya merupakan bukti konkret yang tak terbantahkan. Dan ini, jelas menjadi beban baru pula bagi negara di tiap tahunnya.
Penyakit TB kan penyakit perorangan, bagaimana bisa itu menjadi beban negara?
Seperti yang diuraikan di atas, tingkat penularan penyakit TB sangatlah tinggi. Dengan hanya melalui batuk dan bersin dari penderita TB, atau udara yang tercemar kuman TB, siapa pun bisa terinfeksi. Mungkin bisa hanya di tingkat TB laten, tapi dengan kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk, keadaan ini bisa secara cepat membuat penderita TB laten menjadi penderita TB aktif. lagi-lagi, angka 460.000 kasus baru di setiap tahun adalah bukti yang nyata dari panularan yang terus terjadi itu.
Tingkat kematian penderita TB juga membebani negara. Kita harus ingat bahwa penyakit TB bisa menimpa siapa saja, termasuk rakyat di golongan usia produktif. Coba bayangkan saja jika penyakit ini banyak menimpa generasi penerus, misalnya para pelajar dan mahasiswa, kemudian orang-orang yang bekerja produktif yang mungkin merupakan tulang punggung keluarga. Dan kemudian penyakit ini dibiarkan begitu saja oleh negara. Bisa dipastikan, negara akan kehilangan rakyat potensial yang mungkin bisa meningkatkan tingkat kesejahteraan negara. Tak hanya itu saja, semua lapisan masyarakat juga pasti tertular penyakit ini. Dan bukan mustahil, pada akhirnya, setiap rakyat mengidap penyakit ini.
Beban yang muncul kemudian adalah beban ekonomi. Ya, dari penanganan penyakit TB yang diwujudkan dalam bentuk obat gratis bagi penderitanya, negara dibebani dengan pembiayaan ini. Kita pasti tidak tahu bahwa biaya untuk penanganan penyakit TB ini sangatlah mahal. Untuk seorang penderita TB biaya (nilai tengah=median) yang ditanggung negara di fase diagnosis adalah sebesar Rp339.000,-; kemudian untuk fase pengobatan intensifnya sebesar Rp509.000,-; ada pun untuk fase kelanjutan pengobatannya adalah sebesar Rp790.000,-.
Itu untuk penderita TB regular, sedangkan untuk penderita MDR-TB, biayanya jauh lebih tinggi. Untuk seorang penderita MDR-TB biaya yang ditanggung negara itu adalah Rp450.000,- untuk fase diagnosis; Rp10.453.000,- untuk fase pengobatan intensif; dan Rp11.893.000,- untuk fase kelanjutan pengobatan.
Nah, coba kita kalikan angka-angka di atas dengan jumlah penderita TB yang ada di Indonesia sekarang dan yang mungkin akan bertambah tiap tahunnya. Jumlahnya pasti akan sangat sangat besar. Dari sini, bisa tergambarkan bukan besarnya beban negara atas penyakit rakyatnya ini? Peningkatan jumlah rakyat yang miskin akibat penyakit TB ini juga ikut memperbesar beban ekonomi negara.
Yuk, Bantu Meringankan Beban Negara!
Beban negara bukan hanya dari penanganan/pembiayaan penyakit TB saja. Banyak sekali sektor-sektor lain yang butuh perhatian. Sebagai warga negara yang baik, yang tentu saja mencintai negaranya, sudah sepantasnya kita membantu negara dalam mengurangi beban-beban tersebut. Dalam hal penanganan penyakit TB, kita juga bisa turut andil di dalamnya. Seperti apa bentuknya?
Bertolak dari kenyataan itu, pernahkah kita berpikir mengenai beban penyakit tuberkulosis terhadap kita? Sebagai orang yang sehat, sepertinya tidak. Tapi bagi mereka yang sakit dan keluarganya, penyakit ini merupakan beban yang berat. Tak hanya karena bayangan kematian yang begitu dekat, beban ekonomi juga sangat memberatkan mereka. Sekali pun obatnya gratis, produktivitas penderita tuberkulosis yang menurun, terutama bagi penderita yang asalnya bekerja (apalagi tulang punggung keluarganya), mengakibatkan pendapatan keluarga berkurang. Tak ayal, guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, keluarga penderita tuberkulosis seringkali menjual harta bendanya atau bahkan sampai berhutang ke sana ke mari.
Penyakit TB: Beban Bagi Negara
Beban kematian dan ekonomi dari penderita tuberkulosis juga merupakan beban yang berat bagi negara. Bayangan hilangnya generasi produktif akibat kematian, meningkatnya jumlah kemiskinan, hingga besarnya biaya obat yang harus ditangung agar para penderita bisa diobati hingga tuntas adalah sekian contoh dari banyaknya permasalahan yang diakibatkan dari penyakit ini. Belum lagi tingkat penularannya yang sangat tinggi. Jumlah 460.000 kasus baru di tiap tahunnya merupakan bukti konkret yang tak terbantahkan. Dan ini, jelas menjadi beban baru pula bagi negara di tiap tahunnya.
Penyakit TB kan penyakit perorangan, bagaimana bisa itu menjadi beban negara?
Seperti yang diuraikan di atas, tingkat penularan penyakit TB sangatlah tinggi. Dengan hanya melalui batuk dan bersin dari penderita TB, atau udara yang tercemar kuman TB, siapa pun bisa terinfeksi. Mungkin bisa hanya di tingkat TB laten, tapi dengan kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk, keadaan ini bisa secara cepat membuat penderita TB laten menjadi penderita TB aktif. lagi-lagi, angka 460.000 kasus baru di setiap tahun adalah bukti yang nyata dari panularan yang terus terjadi itu.
Tingkat kematian penderita TB juga membebani negara. Kita harus ingat bahwa penyakit TB bisa menimpa siapa saja, termasuk rakyat di golongan usia produktif. Coba bayangkan saja jika penyakit ini banyak menimpa generasi penerus, misalnya para pelajar dan mahasiswa, kemudian orang-orang yang bekerja produktif yang mungkin merupakan tulang punggung keluarga. Dan kemudian penyakit ini dibiarkan begitu saja oleh negara. Bisa dipastikan, negara akan kehilangan rakyat potensial yang mungkin bisa meningkatkan tingkat kesejahteraan negara. Tak hanya itu saja, semua lapisan masyarakat juga pasti tertular penyakit ini. Dan bukan mustahil, pada akhirnya, setiap rakyat mengidap penyakit ini.
Beban yang muncul kemudian adalah beban ekonomi. Ya, dari penanganan penyakit TB yang diwujudkan dalam bentuk obat gratis bagi penderitanya, negara dibebani dengan pembiayaan ini. Kita pasti tidak tahu bahwa biaya untuk penanganan penyakit TB ini sangatlah mahal. Untuk seorang penderita TB biaya (nilai tengah=median) yang ditanggung negara di fase diagnosis adalah sebesar Rp339.000,-; kemudian untuk fase pengobatan intensifnya sebesar Rp509.000,-; ada pun untuk fase kelanjutan pengobatannya adalah sebesar Rp790.000,-.
Itu untuk penderita TB regular, sedangkan untuk penderita MDR-TB, biayanya jauh lebih tinggi. Untuk seorang penderita MDR-TB biaya yang ditanggung negara itu adalah Rp450.000,- untuk fase diagnosis; Rp10.453.000,- untuk fase pengobatan intensif; dan Rp11.893.000,- untuk fase kelanjutan pengobatan.
Nah, coba kita kalikan angka-angka di atas dengan jumlah penderita TB yang ada di Indonesia sekarang dan yang mungkin akan bertambah tiap tahunnya. Jumlahnya pasti akan sangat sangat besar. Dari sini, bisa tergambarkan bukan besarnya beban negara atas penyakit rakyatnya ini? Peningkatan jumlah rakyat yang miskin akibat penyakit TB ini juga ikut memperbesar beban ekonomi negara.
Yuk, Bantu Meringankan Beban Negara!
Beban negara bukan hanya dari penanganan/pembiayaan penyakit TB saja. Banyak sekali sektor-sektor lain yang butuh perhatian. Sebagai warga negara yang baik, yang tentu saja mencintai negaranya, sudah sepantasnya kita membantu negara dalam mengurangi beban-beban tersebut. Dalam hal penanganan penyakit TB, kita juga bisa turut andil di dalamnya. Seperti apa bentuknya?
- Mencegah diri kita, keluarga kita, dan orang-orang di lingkungan sekitar kita menjadi penderita TB. Aksi nyatanya tentu dengan menjaga kesehatan, membersihkan lingkungan, serta mencari dan mengajak penderita TB untuk berobat secara tuntas. Dengan begitu, penularan dan penambahan penderita TB baru bisa dikurangi.
- Menjadi PMO bagi penderita TB agar mereka bisa mengonsumsi obat secara teratur sesuai anjuran tim medis hingga tuntas. Selain agar penderita bisa sembuh, PMO juga berperan penting dalam pencegahan peningkatan penyakit TB regular menjadi MDR-TB.
- Ikut berpartisipasi dalam memberikan informasi positif mengenai penyakit TB kepada masyarakat. Hal ini mengingat masih banyaknya informasi yang simpang siur dan mitos-mitos negatif mengenai penyakit TB yang justru membuat penyakit ini semakin parah dan berkembang luas. Dengan memberikan informasi positif, masyarakat bisa tahu banyak hal, sehingga pengobatan bisa tuntas, penularan bisa dicegah dan beban kematian serta ekonomi bisa berkurang. Dan bukan mustahil, penyakit ini pada akhirnya hilang dari negara kita.
Nah bagaimana, bisa kan kita membantu negara dalam mengurangi beban kematian dan ekonomi akibat penyakit TB ini? Pasti kita bisa. Yuk kita lakukan sekarang juga!
Referensi
Referensi
- http://www.tbindonesia.or.id/tb-hiv/
- http://www.depkes.go.id/
- http://www.who.int/tb/en/
mengerikan ya penyakit TB
BalasHapusInsya Allah bisa ya mbak
BalasHapussebenarnya miris juga kalau dikatakan penderita TB menjadi beban negara..., karena yg jadi pemikiran saat ini adalah apabila pemerintah pandai mengelola keuangan negara, dan bisa membersihkan negara dari para koruptor..maka pastilah negara tak akan berpikiran,,bahwa penderita TB menjadi beban negara....karena potensi keuangan negara hilang ratusan trilyun..hanya karena salah kelola dan banyaknya perilaku korup di negeri ini....
BalasHapuskeep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
membaca komen Pak Hariyanto, saya rasa bukan penderita TBnya tapi penyakitnya. Kalau sy sih sependapat kl penyakit TB bisa menjadi beban negara.
BalasHapusKrn terlepas dr apakah ada atau tdknya korupsi di negara ini, masyarakat jg hrs sadar ttg penyakit TB. Yg sudah tekena TB, hrs mau berobat secara disiplin sampai tuntas. Krn kl tdk, pengobatan akan semakin mahal dan pengeluaran negara semakin byk.
Yg blm terkena, hrs bisa menjaga kesehatan. Supaya anggaran negara utk penyembuhan TB ini gak semakin membengkak juga.
Semoga menang, Mak :)
good luck untuk entry ini mak...TB memang sayang masih menjadi momok di negara kita...dan negara memang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa akses terhadap fasilitas kesehatan, termasuk bagi pasien TB, terjamin. Hak atas kesehatan ini tentu saja berimplikasi pada keuangan negara. So, all in all, tanggung jawab negara antara lain diterjemahkan dengan memastikan cukupnya anggaran untuk penanggulangan penyakit ini. Well, kok jadi serius ya...:)..Yang pasti, semakin banyak informasi baik yang terdiseminasi, semakin baik pengetahuan masyarakat akan penyakit ini dan cara pengobatannya. Cheers..
BalasHapusPerlu sosialisasi tentang penyakit TBC, baik TBC pulmo maupun ekstrapulmo
BalasHapus