Dulu, saat pertama kali tahu bahwa dirinya menderita penyakit tuberkulosis, adik saya sangatlah terpukul. Pukulan terberat yang dirasakannya, bukanlah bayangan kematian akibat penyakit tuberkulosisnya atau pun berat dan lamanya masa pengobatan penyakit tersebut. Dia sangat takut dengan stigma dan diskriminasi masyarakat akan penderita penyakit itu.
Ya, sebagaimana kita tahu, di masyarakat, penyakit tuberkulosis itu seperti sebuah penyakit kutukan. Penyakit turunan, menular, dan sangat mematikan, sehingga penderitanya harus dijauhi dan diasingkan. Sungguh, dengan stigma negatif seperti itu, adik saya benar-benar merasakan keterpurukan yang luar biasa. Dia sangat takut jika teman-teman, keluarga, dan sahabat-sahabat karibnya akan menjauhi dirinya bila tahu dia menderita penyakit tersebut.
Untuk menghindari stigma dan diskriminasi itu, awalnya adik saya menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Tak ada siapa pun yang diperbolehkannya untuk bercerita mengenai penyakit tuberkulosisnya itu. Tapi lama-kelamaan, karena tubuhnya semakin menyusut, batuk-batuknya tak kunjung mereda, dan vitalitasnya menurun drastis, akhirnya temannya curiga. Sehingga akhirnya, beberapa dari mereka tahu. Dan dalam waktu beberapa minggu saja, seluruh teman angkatan kuliahnya pun tahu.
Ketakutan adik saya terbukti. Satu persatu teman-temannya menjauh. Meski tidak secara terang-terangan, sahabat-sahabat karibnya pun begitu. Mereka menghindar dan memperlakukan adik saya seperti pesakitan yang harus dijauhi dan diasingkan.
Adik saya pun tak kuat menerima perlakuan tersebut. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan dosen wali, orang tua, dan juga dokternya, adik saya memutuskan untuk cuti kuliah selama 1 semester. Selain memang bertujuan untuk memulihkan psikisnya yang benar-benar down, cuti itu juga ditujukan untuk berkonsentrasi pada pengobatan tuberkulosisnya yang memang dijanjikan dokter selama 6 bulan, asalkan pengobatan dilakukan secara taat menurut anjuran dokter.
Stigma dan Diskriminasi Itu Memang Ada
Apa yang terjadi pada adik saya hanyalah sebuah contoh dari banyak kasus pemberian stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita penyakit tuberkulosis. Jangankan orang awam, bahkan kaum terpelajar seperti teman-teman perkuliahan adik saya pun msih erat memegang stigma dan diskriminasi itu. Tak hanya dulu, bahkan sampai sekarang, stigma dan diskriminasi masih melekat di masyarakat kita.
Jika dilihat secara cermat, stigma dan diskriminasi itu mungkin di mata sebagian orang, terutama orang yang menjauhi penderita tuberkulosis itu bisa jadi menguntungkan. Dengan begitu, dia bisa terhindar dari penularannya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi penderita, stigma dan diskriminasi itu benar-benar menyakitkan dan sangat kejam. Sebab dengannya, semangat untuk sembuh seperti sediakala dan bisa normal kembali seperti orang lain menjadi turun. Akibatnya, mengonsumsi obat dan mengikuti anjuran pihak medis pun menjadi malas. Dan bukan mustahil, tuberkulosis resisten obat hingga kematian akibat penyakit ini pun terjadi.
Tak hanya itu saja, secara lebih luas, stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat juga akan membuat penderita yang belum berobat ke dokter/pihak medis akan terus menyembunyikan penyakitnya. Semuanya dilakukan karena mereka takut dicap negatif dan dijauhi masyarakat. Jika sudah begitu, pengendalian penyakit ini pun akan susah dilakukan. Dan penyebaran serta penularannya semakin meningkat saja. Mengerikan, bukan?
So…
Nah, agar kita bisa terhindar dari penyakit tuberkulosis, hal yang harus kita lakukan bukanlah memegang teguh stigma dan diskriminasi itu. Sebaliknya, kita harus mematahkannya agar penyebaran dan penularan penyakit tuberkulosis bisa dikendalikan. Sekaligus juga membantu program pemerintah dalam menyembuhkan penderita penyakit tuberkulosis secara umum.
Kira-kira, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mematahkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tuberkulosis?
Ya, sebagaimana kita tahu, di masyarakat, penyakit tuberkulosis itu seperti sebuah penyakit kutukan. Penyakit turunan, menular, dan sangat mematikan, sehingga penderitanya harus dijauhi dan diasingkan. Sungguh, dengan stigma negatif seperti itu, adik saya benar-benar merasakan keterpurukan yang luar biasa. Dia sangat takut jika teman-teman, keluarga, dan sahabat-sahabat karibnya akan menjauhi dirinya bila tahu dia menderita penyakit tersebut.
Untuk menghindari stigma dan diskriminasi itu, awalnya adik saya menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Tak ada siapa pun yang diperbolehkannya untuk bercerita mengenai penyakit tuberkulosisnya itu. Tapi lama-kelamaan, karena tubuhnya semakin menyusut, batuk-batuknya tak kunjung mereda, dan vitalitasnya menurun drastis, akhirnya temannya curiga. Sehingga akhirnya, beberapa dari mereka tahu. Dan dalam waktu beberapa minggu saja, seluruh teman angkatan kuliahnya pun tahu.
Ketakutan adik saya terbukti. Satu persatu teman-temannya menjauh. Meski tidak secara terang-terangan, sahabat-sahabat karibnya pun begitu. Mereka menghindar dan memperlakukan adik saya seperti pesakitan yang harus dijauhi dan diasingkan.
Adik saya pun tak kuat menerima perlakuan tersebut. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan dosen wali, orang tua, dan juga dokternya, adik saya memutuskan untuk cuti kuliah selama 1 semester. Selain memang bertujuan untuk memulihkan psikisnya yang benar-benar down, cuti itu juga ditujukan untuk berkonsentrasi pada pengobatan tuberkulosisnya yang memang dijanjikan dokter selama 6 bulan, asalkan pengobatan dilakukan secara taat menurut anjuran dokter.
Stigma dan Diskriminasi Itu Memang Ada
Apa yang terjadi pada adik saya hanyalah sebuah contoh dari banyak kasus pemberian stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penderita penyakit tuberkulosis. Jangankan orang awam, bahkan kaum terpelajar seperti teman-teman perkuliahan adik saya pun msih erat memegang stigma dan diskriminasi itu. Tak hanya dulu, bahkan sampai sekarang, stigma dan diskriminasi masih melekat di masyarakat kita.
Jika dilihat secara cermat, stigma dan diskriminasi itu mungkin di mata sebagian orang, terutama orang yang menjauhi penderita tuberkulosis itu bisa jadi menguntungkan. Dengan begitu, dia bisa terhindar dari penularannya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi penderita, stigma dan diskriminasi itu benar-benar menyakitkan dan sangat kejam. Sebab dengannya, semangat untuk sembuh seperti sediakala dan bisa normal kembali seperti orang lain menjadi turun. Akibatnya, mengonsumsi obat dan mengikuti anjuran pihak medis pun menjadi malas. Dan bukan mustahil, tuberkulosis resisten obat hingga kematian akibat penyakit ini pun terjadi.
Tak hanya itu saja, secara lebih luas, stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat juga akan membuat penderita yang belum berobat ke dokter/pihak medis akan terus menyembunyikan penyakitnya. Semuanya dilakukan karena mereka takut dicap negatif dan dijauhi masyarakat. Jika sudah begitu, pengendalian penyakit ini pun akan susah dilakukan. Dan penyebaran serta penularannya semakin meningkat saja. Mengerikan, bukan?
So…
Nah, agar kita bisa terhindar dari penyakit tuberkulosis, hal yang harus kita lakukan bukanlah memegang teguh stigma dan diskriminasi itu. Sebaliknya, kita harus mematahkannya agar penyebaran dan penularan penyakit tuberkulosis bisa dikendalikan. Sekaligus juga membantu program pemerintah dalam menyembuhkan penderita penyakit tuberkulosis secara umum.
Kira-kira, apa sih yang bisa kita lakukan untuk mematahkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tuberkulosis?
- Secara proaktif mencari, menemukan, dan menyarankan penderita tuberkulosis yang ada di sekitar kita untuk berobat.
- Menjadi pengawas minum/menelan obat bagi anggota keluarga atau siapa pun yng dekat dengan kita agar mereka sembuh sesuai dengan jadwal pengobatannya.
- Turut serta menyukseskan program pemerintah dalam #SembuhkanTB dengan menjadi tim medis yang kompeten, sekali pun kita bukan ahli medis yang khusus menangani penyakit TB.
- Menjadi agen penyebar informasi positif. Misalnya saja dengan menjadi blogger yang menulis artikel-artikel positif tentang penyakit TB yang bisa mematahkan stigma dan diskriminasi itu.
- Menjaga kesehatan tubuh kita, kesehatan keluarga, dan kesehatan lingkungan agar bisa terhindar dari penularan penyakit tuberkulosis. Sabagaiman kita tahu, penyakit apa pun akan susah menimpa kita jik kekebalan tubuh kita selalu terjaga. Dan ini imbasnya akan mengurangi risiko tingkat penyebaran dan penularan tuberkulosis secara umum.
Ah, semoga saja, stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap penyakit tuberkulosis bisa menurun dan akhirnya menghilang. Semua dari kita tentu berharap, suatu hari, negara kita bisa terbebas dari penyakit yang satu ini. Sehingga anak cucu kita bisa terhindar dari risikonya. Yuk bersama-sama kita dukung pemerintah dalam mengendalikan penyakit tuberkulosis sekarang juga!
Referensi
Referensi
- http://www.tbindonesia.or.id/
- http://www.depkes.go.id/
- http://www.who.int/tb/en/
Artikel Terkait
Artikel TB Serial 1
Artikel TB Serial 2
Artikel TB Serial 3
Artikel TB Serial 4
Artikel TB Serial 5
Artikel TB Serial 6
Artikel TB Serial 7
Artikel TB Serial 1
Artikel TB Serial 2
Artikel TB Serial 3
Artikel TB Serial 4
Artikel TB Serial 5
Artikel TB Serial 6
Artikel TB Serial 7
mbak aku ketinggalan banyak postingannya, sudah baca dari hp sih tapi belum bisa komen di postingan nokianya
BalasHapussalut euy masih bertahan menulis TB sampai saat ini .... angkat 4 jempol mak :D
BalasHapus