Menjadi Orang Tua, Proses Belajar yang Gak Ada Tamatnya

Beberapa tahun yang lalu, saat lagi ngelonin bobo siang anak pertama (a.k.a menyusui), dari jendela sebelah kamar, samar-samar saya denger seorang anak tiba-tiba nangis kenceng. Dugaan saya, si anak pasti jatoh. Ternyata saya bener. Suara orang dewasa yang sudah pasti adalah ibunya membenarkan dugaan saya tersebut.

“Maneh teh atuh neuleu leumpang teh. Lulumpatan wae, sih! (Bahasa Indonesia: Kamu itu kok gak lihat-lihat ya jalannya. Lari-lari terus, sih!)” Ucap suara perempuan dewasa itu. Tak lama sebuah suara tepukan yang saya kira sebuah pukulan ringan dari sang ibu, mendarat di tubuh si anak

“Mamah… nyeriiii…, (Bahasa Indonesia: Mama… sakit…)” si anak nangis sambil meraung kesakitan.

Dek! Denger raungan si anak yang nangis kesakitan, saya ngerasa iba. Bisa dibayangin deh sakitnya kayak gimana. Gang sebelah rumah kan tembok beton yang pake aspal. Udah pasti, lukanya berdarah-darah. Ya, meskipun saya gak tahu seberapa dalam, tapi dari tangisannya, si anak jelas sangat kesakitan.

Yang bikin saya tambah meringis dan ikut sedih, adalah ucapan ibunya. Coba saja temen-temen baca ucapan yang saya ibunya yang saya kutip di atas. Kalo temen-temen ngerti Bahasa Sunda, kata-kata beliau sangatlah kasar. Rasanya gak pantes deh diucapin seorang ibu kepada anaknya. Kata-kata itu biasanya dipakai para preman di terminal. Belum lagi ‘tepukan’ alias ‘pukulan ringan’ yang mendarat di tubuh si anak setelahnya. Bisa dipastikan, selain sakit fisik, si anak juga sakit hatinya. Dia pasti sangat sedih. Ingin rasanya saya marahin balik si ibu itu. Tapi apa daya, sudahlah saya lagi nyusuin anak, saya pun bukan siapa-siapanya. Bisa-bisa saya malah kena damprat si ibu. Sok ikut campur urusan keluarga orang lain.

Mendengar apa yang terjadi dalam hitungan beberapa menit tersebut, saya cukup tersadarkan. Saya jadi teringat pada kelakuan saya sendiri saat anak saya jatuh di depan mata. Ya, meskipun saya gak pernah ngeluarin kata kasar seperti itu, saya juga sering kali gemes sama anak saya yang lari-larian. Jadinya, saat dia jatuh, bukannya memberi pelukan hangat yang bisa sedikit mengobatinya, ucapan menyalahkan malah lebih dulu ke luar dari mulut saya. Seperti misalnya: “makanya, kalo jalan hati-hati.” Duh!

Saya pun lalu kepikiran sama diri sendiri. Waktu kecil pun demikian. Kalo saya jatuh, mama juga sering kali lebih dulu nyalahin saya yang ‘nakal’ lari-larian daripada sekadar memberi tindakan yang bisa mengobati. Dan ya, sekali pun cuma hardikan halus, dan tanpa tepukan atau pukulan sesudahnya seperti cerita saya di atas, itu tetap membuat sedih. 

Apa yang saya dapatkan dulu saat kecil, dan apa yang saya lakukan sekarang ternyata memang seperti kata para pakar parenting itu. Menjadi sebuah siklus. Saya menerima sebuah perlakukan dan lalu saya menjadi pelaku hal yang sama. Meskipun pernah merasakan seperti apa rasanya, apa terjadi menjadi contoh kecil dari perkembangan psikologi anak yang menentukan saya tumbuh di kemudian hari. Itu tadi, dari yang hanya sekadar objek menjadi subjek pelaku.

Sejak saat itu, saya mulai mencoba untuk berubah. Sekali pun refleknya saya kepengen banget ngeluarin kata-kata yang menyalahkan saat anak-anak saya jatuh, tapi karena saya inget lagi gimana sedihnya disalahkan, sebisa mungkin, yang saya lakuin pertama kali adalah memeluknya. Barulah setelah anak reda dari tangisnya, atau sakitnya sedikit berkurang, saya menasehati dan mengeluarkan kata-kata yang membuat si anak agar lebih waspada di kemudian hari. Bukan kata-kata menyalahkan yang kasar dan tentu saja tanpa tepukan atau pukulan.

Hmmm… menjadi orang tua memang sebuah proses belajar yang gak pernah ada tamatnya. Selalu saja ada hal yang mesti kita pelajari. Sebabnya jelas, objek kita bukanlah benda mati. Tetapi anak kita yang punya perasaan dan keinginan. Apalagi mengingat mereka yang katanya bak kertas kosong. Apa yang kita coretkan bisa membekas selamanya. Duh anak-anak, semoga kalian memaafkan mamamu ini. Teman-teman, pernah ngalamin hal serupa, gak? Sharing, yuk! :)