Pagi itu saya sibuk. Setidaknya begitu kata adik saya yang memang sedang nginep di rumah bareng keluarga kecilnya. Bukan, bukan karena kerjaan nulis atau pun ngeblog. Tapi sibuk bikin sarapan. Iya, soalnya saya bikin sarapan untuk 7 orang. Tapi karena anak-anak dan mama saya punya kesukaan masing-masing, jadinya saya bikin 5 macam. Untuk si sulung, anak kedua, anak ketiga, anak keempat, dan untuk mama. Saya dan suami sih, beli serabi aja. Kebetulan, adik saya, suami, dan juga anaknya lagi kepengen makan serabi.
Si sulung senangnya yang manis-manis. Saya buat roti bakar untuknya. Anak kedua simpel. Dia senengnya mie pedas. Saya buatkan mie instan geprek untuknya. Anak ketiga senengnya burger. Tentu, saya pun membuatkan itu untuk sarapannya. Anak keempat sukanya hotdog. Tak masalah, saya langsung memasakkannya. Nah mama, karena kepengen langsung kenyang, dia minta makan nasi. Sayur oyong dan tahu goreng pun jadi lauknya.
Adik saya heran, kenapa saya buat sarapan yang berbeda-beda. Biar tak repot, kenapa gak bikin 1 – 2 macam saja. Toh pada akhirnya, semua akan makan apa yang disiapkan. Begitu katanya. Ya sih, bisa saja begitu. Saya sering kok begitu. Tapi efeknya tak memuaskan saya. Anak-anak makannya males-malesan. Dan biasanya pada sedikit.
Untuk makan di waktu lainnya sedikit berbeda. Saya tak serepot saat sarapan. Saat makan siang dan makan malam, jenis lauk yang saya masak tak banyak macamnya. Yang penting ada ayam. Diolah dengan resep apa pun anak-anak suka. Palingan saya tambahkan aja sayur berkuah untuk mama, tahu goreng, dan pindang ikan.
Perbedaan di Lingkup yang Lebih Besar
Cerita tentang saya dan anak-anak, serta mama di atas merupakan sebuah contoh dari perbedaan yang ada di kehidupan saya pada lingkup terkecil. Perbedaan selera makanan. Meluas sedikit, tentu lebih banyak. Contoh yang kentara mungkin adalah persahabatan saya semasa sekolah. Baik saat SMA atau pun saat kuliah.
Ya, dulu saat sekolah, saya punya sahabat orang Batak. Beragama nasrani pula. Padahal saya orang Sunda dan beragama Islam. Tapi kami tidak pernah berselisih paham karena perbedaan yang ini. Kami malah saling menghormati dan menghargai. Contohnya saat saya sedang berada di kost-annya. Saat waktu shalat tiba, teman saya sering menawarkan saya untuk shalat di sana saja. Di kamar kostnya. Jika kepepet, saya shalat di sana. Dan saya tak merasa risih.
Saya pun begitu. Di lain waktu, saat hendak latihan teater bersama, padahal waktunya sudah ditentukan, saya menunggu teman saya itu untuk beribadah terlebih dahulu. Ketimbang meninggalkannya sendirian. Dan merelakan saya dan dia datang terlambat ke latihan tersebut.
Perbedaan di Sekitar Kita
Penuh perbedaan. Begitulah kehidupan. Fitrahnya, dari Tuhan pun kita diciptakan berbeda-beda. Semakin luas lingkupnya, semakin besar dan semakin banyak perbedaannya. Apalagi dalam cakupan bangsa dan negara. Perbedaan-perbedaan itu sangat nyata adanya. Bahkan sejak zaman dahulu kala. Hal ini terlihat dari semboyan negara kita ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang memang sudah ada sejak zaman Majapahit.
Huhu iya ya, kok bisa kita sekarang begini. Mengangkat dan membesar-besarkan perbedaan. Kenapa canggihnya teknologi malah dimanfaatkan untuk hal-hal yang kontraproduktif. Padahal dulu kita gemah ripah repeh rapih di atas segala perbedaan-perbedaan ini.
Melihat bagaimana timbul – tenggelam – dan timbulnya lagi permasalahan yang berhulu pada perbedaan-perbedaan, serta semakin maraknya berbagai hoax, yang terus-menerus jelas membuat kita semua yakin. Di balik ini pasti ada yang ‘bermain’. Memanfaatkan segala kesempatan untuk tujuan mereka.
Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Yang harus kita semua lakukan sebenarnya simpel saja. Cuekin saja semua pemberitaan-pemberitaan dan hoax-hoax itu. Tak usah dibahas, tak perlu di-forward, apalagi dibesar-besarkan. Saring semuanya sebelum dibagikan. Verifikasi dulu kebenarannya. Baik kebenaran beritanya, kebenaran fotonya, kebenaran videonya, atau yang lainnya. Dan terakhir, posting selalu hal-hal yang baik. Semakin banyak kabar baik dan berita baik yang dibagikan, nantinya tentu bisa mengalahkan hal-hal yang kontraproduktif itu tadi.
Yang Lainnya di Acara Gathering Netizen BDG – MPR RI
Dalam Gathering Netizen BDG – MPR RI lalu, selain membahas mengenai perbedaan, kami para netizen Bandung juga memberi masukan dan saran ke MPR RI. Terutama dalam hal-hal yang bisa mendekatkan MPR RI ke masyarakat. Sebab MPR RI itu layaknya rumah bagi seluruh bangsa Indonesia.
Ada banyak sekali masukan dari netizen Bandung untuk MPR RI. Dan harapannya, ada masukan yang bisa membuat semuanya lebih baik. Tentu, tak semua saran dan masukan akan dijalankan serta diwujudkan. Karena pasti, semua akan dipertimbangkan. Ada kode-kode etik tertentu yang mungkin tak bisa dilanggar. MPR juga harus menjaga marwah yang sudah ditentukan selama ini.
Oke!
Banyak sebenernya yang dibahas di dalam Gathering Netizen BDG – MPR RI kemarin itu. Malah sepertinya, gathering tersebut pembahasannya lebih dalam daripada gathering yang sebelum-sebelumnya. Tapi secara umum, sudah saya tuliskan di atas.
Semoga deh, dengan semakin seringnya gathering bersama netizen, dari berbagai daerah, dan semakin banyaknya mendapat masukan, MPR RI akan semakin dekat dengan masyarakat. Sehingga tak ada lagi jarak yang membuat masyarakat dan MPR RI terasa jauh.
Ah ya, ngomongin tentang MPR RI, masih pada inget gak dengan 4 Pilar MPR? Ayoo, jangan sampai lupa, ya. Empat Pilar MPR itu meliputi Pancasila, Undang-undang Dasar Negara RepubIik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan juga Bhinneka Tunggal Ika.
Yuk teman-teman, sebagai netizen yang baik, mulai dari sekarang, kita posting hal-hal yang baik saja. Supaya ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita tak hanya sebatas semboyan saja. Tetapi juga terpancar di dalam keseharian kita. Berbeda itu indah. Berbeda itu fitrah. Berbeda itu seru. Kita bisa kompak dengan segala perbedaan tersebut. Yuk yuk yuk!
Baca Juga: Belajar Nilai-nilai Pancasila Lagi, Yuk!
Saat ada berita tentang netijen indonesia yang dikatakan paling ngga sopan di asia tenggara, rasanya sedih deh. Baik generasi muda atau yang sudah senior harus diedukasi agar makin bijak dimedia sosial.
BalasHapushastagaa teh nia hebring sampe bikin aneka rupa sarapan segitu banyaknya. kalo aku mah udah ngomel duluan kalo kebanyakan riques hahaha (maklum dah lelah dengan 3 menu berbeda tiap hari wkwkwk).
BalasHapusiyes setuju perbedaan itu yang bikin hidup jadi seru dan bermakna :)
Aku biasanya bikin sarapan satu macam saja...tapi kadang juga 2 macam untuk berempat di rumah. Satu selera suami dan saya biasa makanan jadoel, dan satu selera kedua anak saya makanan kekinian hahaha...beda, repot tapi happy sih
BalasHapusSetuju jika kita posting hal-hal yang baik saja, supaya ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita tak hanya sebatas semboyan saja, tapi juga terpancar di dalam keseharian kita!
Karena sekarang orang banyak dirumah, pemerintah mulai bergerak menata prilaku rakyatnya di sosial media yaa.. xixixi..memang jika tanpa sosialisasi yang benar, orang banyak menyalahgunakan sosmed.
BalasHapusSerem kalau baca berita berita hoax, mba. Bikin makin ngeri deh. Dan ini nggak bagus. Sedihnya kenapa aja masih banyak yang percaya. Sosialisasi bijak bermedia yang ini harus dilakukan
BalasHapuswah teh aku salfok sama nyiapin sarapannya yang beda-beda ga kebayang repotnya soalna aku kalau pagi ya siapin sarapan sama menu makan siang sore malam aja revot hahaha...salut
BalasHapus4 Pilar MPR harus diingat terus dan dijaga serta dilaksanakan, ya. Biar negara aman damai dan sejahtera. Termasuk bijak dalam bermedia sosial. Jangan sampai share sesuatu yang yang hoax, meresahkan atau juga hal-hal yang menakut-nakuti.
BalasHapusAkun yang kita buat di medsos memang punya kita, tapi ketika konten yang kita buat dipublish, dia jadi milik umum. Siapapun akan melihat, baik maupun buruk dari semua yang kita posting, berpotensi menciptakan suatu keadaan, baik yang diinginkan maupun tak diinginkan. Kalau gak membahayakan orang lain, ya membahayakan diri sendiri. Jauh-jauh deh dari hal-hal merugikan.
BalasHapuskeren teh bisa mengikuti acara dengan MPR RI, sudah pasti berkesan banget yaa. Baca artikelnya aja bikin saya kepingin ikutan hehe seru ya teh. Bagus ini ya acara ini diadakan rutin agar ada jembatan antara MPR dan netizen. Btw sepakat banget dengan ajakan bijak bermedia sosialnya teh.
BalasHapusPerbedaan saat ini jadi suka berasa gak asik kalau di medsos, ya. Ribut melulu. Padahal menyikapi perbedaan dengan santai justru mengasikkan dan bikin tentram
BalasHapusSalah satu musuh pemecah belah angsa kita saat ini si hoax ini. Ada tapi susah didapatkan kecuali memang kita para netizen konsisten untuk sepakat memberantasnya
BalasHapusNgomongin bijak bermedia sosial ini memang nggak ada habisnya yaa...Terlebih, warganet Indonesia sudah dikenal bar-bar. Masih segar di ingatan kasus Putri Supranational (yang saya sempat kepleset baca supranatural :D), lalu akun microsoft yang sampai dikunci komentarnya...dan banyak lagi.
BalasHapusMengeluarkan pendapat dengan topeng (akun anonim/palsu) memang jadi lebih berani ya... Sementara, kalau di dalam kelas guru bilang "ada yang mau tanya?" ..... pada diem.
Aku dulu berada di lingkungan homogen, Islam saja. Tahu agama-agama di Indonesia, tapi gak pernah praktik soal perbedaan. Akhirnya pas dewasa kaget dong. Jadi sekarang mau lebih mengenalkan banyak agama, suku, bahasa dan lainnya ke Keponakan. Berbeda itu gak masalah ya. Harus tetap Bineka Tunggal Ika
BalasHapusBerita hoax tuh emang wajib dicuekin sih ya Teh. Kalau kita ikut komen, ntar malah kayak ngeboost berita tsb. Jangan kasih panggung sama berita hoax. Semoga semua makin bijak bersosial media ya.
BalasHapusBenar banget deh bijak di medsos, apalagi medsos tempat kerjanya blogger, menjaga nama baik itu perlu ya
BalasHapusPada dasarnya sih orang indonesia terbuka dengan perbedaan, tapi entah bagaimana mulanya ya pelan tapi pasti kita mulai diseragamkan. Kalau beda dengan yg diajarin berarti jelek. Kacau banget sih, menurutku edukasi tentang kebhinekaan ini harus terus menerus dilakukan secara massif dan berkelanjutan.
BalasHapusgara-gara berita hoax banyak yang kemakan dan jadinya blunder deh membahayakan banyak orang, makanya harus hati-hati deh
BalasHapusGak tau nih sejak beberapa tahun yerakhir sosmed jd ajang war2 gtu.
BalasHapusIkutan acara ini kyk belajar ttg Pancasila lagi ya mbak, mengingat kembali ttg kedamaian dan peratuan sebagai warga negara.
Hehe bener nih berita2 hoax gak jelas mending dicuekin aja. Apalagi masa skrng dahlah mikirin kerjaan dan kesibukan sendiri aja sih hehe
nah yah,ngapain ngegubris berita hoax, now lebih asik kepoin si ricis ama rian yaak, hahaha, liat mereka bahagia auto ikutan bahagia, timbang baca hoax, bikin puyeng
BalasHapusKetika ada berita bohong, fitnah atau berburuk sangka, kuncinya memang itu Teh "cuekin" kalau dalam hadist aku pernah membaca diamkan dan tidak disebarkan. Memang sudah jitu deh cara itu. Dengan sendirinya yang memproduksi berita hoax seperti itu capek sendiri.
BalasHapusKalau dipahami sungguh-sungguh ternyata 4 Pilar MPR ini dalam sekali maknanya.
BalasHapusDan semoga blogger juga konten kreator bisa menuliskan untuk pengetahuan anak muda zaman sekarang mengenai 4 Pilar MPR yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
emang suka nyebelin masalah berita gaje hoax ya mba
BalasHapussenengnya bisa kesempatan ikutan ini
aku naksir sama jaketnya mbaaa
Kalau tidak bijak maka akan mendapatkan kesulitan yang datangnya seperti bom waktu. Mungkin tidak sekarang tetapi nanti dan efeknya bisa ke anak cucu.
BalasHapusWah, aku jadi inget kalau punya "kitab" 4 pilar MPR karena dulu pernah ikut event serupa tahun 2018 di Jogja. Seputar bijak di media sosial, seharusnya sudah jadi kewajiban kita untuk senantiasa berhati-hati ya Mak. Cuma kayanya masih pada nggak paham kalau media sosial tuh isinya ya manusia biasa, yang bisa sakit hati juga kalau misal dari kita nggak hati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Semoga kita termasuk orang yang selalu waspada dan nggak gampang menyebar fitnah ya Mak :')
BalasHapus