Dulu, ketika duduk di bangku kelas 3 SMP, saat dengan proses belajar-mengajar, seorang guru IPS melemparkan sebuah pertanyaan.
“Jika seorang anak pejabat negara melakukan tindakan anarkis, kemudian dia terbebas dari hukuman, bisakah kita memprotes hukum?” tanyanya.
Dengan serentak, seisi kelas menjawab, “tentu saja!”
Tiba-tiba guruku itu berkata, “kalian salah. Di era seperti sekarang, hal seperti itu tidak bisa dilakukan. Kalian tahu kenapa? Sebab itu adalah tindakan yang subversif.”
|
Sumber gambar:
http://forderecord.files.wordpress.com/2012/07/freedom_of_speech.jpg |
Sebagai anak SMP, tentu kami bingung. Kok bisa hal itu terjadi. Dan apa pula itu subversif?
Seperti tahu dengan apa yang dipikirkan anak-anak, ibu guruku langsung menjelaskan semuanya, juga tentang arti kata subversif itu sendiri. Namun meskipun semua dijelaskan secara gamblang, apa yang diungkapkan ibu guru IPS-ku itu, hingga sekarang masih menjadi tanda tanya. Benarkah seperti itu?
Menginjak dewasa, saat baru masuk perguruan tinggi, saat itu ketika mahasiswa sedang giat-giatnya turun ke jalan untuk menyuarakan berbagai macam protes terkait kondisi negeri, ajakan para senior untuk ikut berdemo membuat aku dan teman-teman susah menolak. Selain karena takut, rasa kebersamaan dan setuju atas tugas mulia itu mendorong aku dan teman-teman untuk berani membolos jam-jam kuliah. Meski baru sekadar ikut-ikutan, aku dan teman-teman merasa bangga bisa ikut serta.