“Semuanya? Pegel atuh, Ma. Perih di mata lagi,” jawab saya sambil berurai air mata.
“Pelan-pelan aja. Katanya mau bantuin mama. Masa pegel sama perih mata sedikit aja ngeluh,” ucap mama lagi.
Saya pun mengangguk, kemudian mengupas bawang dan mengirisnya sampai habis.
Seperti itulah kira-kira percakapan yang terjadi antara saya dan mama beberapa puluh tahun silam, untuk pertama kalinya. Setelah kali itu, kejadian serupa rutin terjadi. Iya, hampir setiap sebulan sekali, mama membeli bawang dan menyuruh saya mengupas serta mengirisnya sampai habis. Setelah itu, mama lalu menggorengnya. Bawang mentah sebanyak 1 kilo yang kemudian menjadi bawang goreng itu pun menjadi stok di rumah kami selama 1 bulan. Tak hanya untuk taburan masakan yang sudah jadi saja, bawang goreng tersebut seringkali juga menjadi teman makan ketika perut lapar dan mama tidak ada. Nasi panas plus taburan bawang goreng ini pun rasanya nikmat tiada tara.
Sekarang, ketika saya sudah menjadi ibu rumah tangga, kebiasaan ini menjadi rutinitas yang saya lakukan. Saya membeli bawang mentah, kemudian mengupasnya, dan lalu menggorengnya. Tapi tak sebanyak mama. Saya paling-paling hanya membuat bawang goreng seperempat kilo saja. Malasnya mengupas, mengiris, dan menggoreng bawang tersebut menjadi penyebabnya. Jadinya, bawang goreng yang dibuat pun saya irit-irit dalam penggunaannya.