Siang itu, sepulang sekolah, Radit membuka pakaian seragamnya dengan terburu-buru. Setelah memakai pakaian biasa, dia melesat pergi ke luar rumah.
“Dadah, Umi!” ujarnya sambil berlari.
Saya cuma melongo. Tak keburu bertanya, saya pun akhirnya menatap Radit yang ternyata belok ke rumah temannya.
“Oooh… mau main, toh!” ucap saya dalam hati.
Satu jam kemudian, Radit pulang ke rumah. Dengan wajah yang merah padam akibat tersengat sinar matahari, keringat yang bercucuran, dan nafas terengah-engah, dia menghampiri saya. Radit pun bercerita penuh semangat.
“Mi, tadi Aa balap sepeda sama teman-teman. Dan Aa menang. Keren, kan?”
“Wah, hebat! Eh, emang Aa gak capek, abis sekolah terus balap sepeda?” tanya saya.
“Enggak, dong. Malah Aa seneng banget,” jawabnya penuh antusias.
“Dadah, Umi!” ujarnya sambil berlari.
Saya cuma melongo. Tak keburu bertanya, saya pun akhirnya menatap Radit yang ternyata belok ke rumah temannya.
“Oooh… mau main, toh!” ucap saya dalam hati.
Satu jam kemudian, Radit pulang ke rumah. Dengan wajah yang merah padam akibat tersengat sinar matahari, keringat yang bercucuran, dan nafas terengah-engah, dia menghampiri saya. Radit pun bercerita penuh semangat.
“Mi, tadi Aa balap sepeda sama teman-teman. Dan Aa menang. Keren, kan?”
“Wah, hebat! Eh, emang Aa gak capek, abis sekolah terus balap sepeda?” tanya saya.
“Enggak, dong. Malah Aa seneng banget,” jawabnya penuh antusias.