“Pinter kumaha?” jawab saya.
“Eta, nyanyi Sambalado si Ayu Tingting meni nepi ka tamat,” ucap mama lagi.
“Waduh!”
Seperti itulah percakapan saya dan mama siang itu. Yang bukan orang sunda pun kayaknya ngerti dengan percakapan di atas. Ya, mama memuji anak tetangga depan rumah karena kepiawaiannya dalam menamatkan lagu Ayu Tingting, Sambalado. Senada dengan hal itu, di saat yang berbeda, para ibu-ibu lain begitu senang dan bangganya melihat anak-anaknya jogged dangdut ala penyanyi dangdut panggung di sebuah pesta ulang tahun seorang anak tetangga yang lain, manakala diputar lagu Da Aku Mah Apa Atuh, yang dipopulerkan oleh Cita Citata. Saya yang mendengar dan melihat dua kejadian itu, terus terang kaget. Apa yang membanggakannya? Bukankah itu justru membuat miris?
Iya, kedua contoh kejadian di atas menurut saya tidaklah membanggakan. Dan sebaliknya, itu membuat saya miris. Di contoh pertama, tentu hal ini karena lagu Sambalado kan lagu yang isinya tentang percintaan orang-orang yang sudah dewasa. Meskipun tak ada yang bisa dibilang 'bahaya', untuk anak usia 3 tahun, rasanya tak 'sehat' untuk nyanyi seperti itu. Adapun di contoh kejadian kedua, sudahlah anak-anak joged ala penyanyi panggung yang cenderung mengeksploitasi 'bagian perut ke bawah', lagu yang diputar yang ternyata dihafal anak-anak tersebut di luar kepala, adalah jenis lagu dewasa yang muatannya negatif. Iyalah negatif, masa anak-anak kecil sudah diperkenalkan dengan kata 'selingkuhan' dan 'pacar gelap'. Haduh haduh haduh... ngeri!